Sabtu, 31 Desember 2011

Ini Kita #1


Suara-suara burung maupun serangga malam tiada lagi terdengar, tergantikan oleh derasnya rintik hujan yang turun. Petir sahut menyahut di kejauhan, membuat pekatnya malam di tengah hutan semakin terlihat seram.
“kemana yang lain?? Kenapa hanya kita berlima yg ada disini??”, ucap Fesya sambil sesenggukan.
“Tenanglah, kita bakalan baik-baik aja kok, ada aku di sini!!”, Legi mencoba menenangkan Fesya sambil menepuk pundaknya lembut.
Ada sedikit getaran sakit saat aku melihatnya, tapi ku coba untuk menahan itu karena situasi yg terjadi sekarang lebih penting daripada memikirkan rasa yg tidak jelas ini. Yahh .. kami berlima terpisah dari rombongan saat hiking tadi siang, aku, Legi, Wildan, Tika, dan Fesya. Disinilah kami berteduh sekarang, di sebuah pondok tua yang bisa dibilang hanya cukup untuk melepas lelah saja.
Aku sadar, malam telah semakin larut, Tika yang notabene merupakan kakak tingkat  kami  telah tertidur pulas dibahu Wildan. Mereka baru beberapa minggu yang lalu pacaran. Wildan memang nekat, ia tak peduli dengan umurnya yg lebih muda setahun dari Tika, baginya cinta adalah kekuatan yg mampu mengalahkan apapun yg menghalanginya. Sementara itu, Fesya juga tertidur dipangkuan Legi, pandangan yang menyakitkan lagi, tapi dari awal aku tahu ini akan terjadi. Legi menatapku dan aku membalas tatapannya sambil tersenyum.
“tidurlah, Gi..tak usah  pedulikan aku, bukankah ini yg kamu harapkan, aku turut bahagia melihatnya”
“hmm..entahlah, aku juga tak mengerti dg apa yg kurasakan saat ini. Apakah aku harus bahagia Ai ?”
“aku juga perempuan Gi, jadi aku bisa merasakan kalau Fesya udah punya rasa lebih dgn mu”, aku terdiam sebentar, kemudian bernyanyi kecil dg nada yg tak karuan “jangan tunggu lama-lama Gi, nanti lama-lama Fesya lepas lagi dari tanganmu”
Hal ini membuat tawa kami berhamburan keluar, lalu Legi memejamkan matanya dsan menyuruhku untuk tidur. Kentara sekali, ia kelihatan gelisah dan tak tahu harus berbuat apa. Fesya, wanita yg dari SMA sangat dicintainya kini telah begitu dekat dengannya. Dari awal Fesya juga tahu bahwa Legi menyukainya, namun sikap Fesya masih biasa saja, dia tetap berteman baik dengan Legi. Dan entah apa yang direncanakan Tuhan, sampai menginjak bangku kuliah pun Fesya tetap satu kampus dengan Legi, hanya saja sekarang mereka beda jurusan, Fesya di sastra Jepang sedangkan Legi memilih fotografi sama dengan jurusan yang aku dan Wildan ambil.
Untuk sejenak aku menutupkan mata dan mengenang kembali awal pertemuan antara aku dan Legi.

***
“hmm sekarang kita udah sepenuhnya jadi mahasiswa!!”, ucapku sambil terus memotret –motret kampus.
“Ainiii .. Aiiii ..”, Wildan berteriak dari kejauhan sambil lari mendekati ku yg sedang berdiri di halaman kampus.
Dengan napas terengah-engah, ia memegang pundakku dan berkata, “Ai .. tunggu Ai .. hosh hosh .. tunggu akuuu Ai”
“apaan sih?? Kamu kenapa?? Tarik nafas dulu dalam-dalam, hembuskan, baru ngomong!!”
“fiuhh .. sial banget aku hari nih, tadi aku gak sengaja nyenggol motor orang, terus aku berhenti dan nolongin dia, ehh dia malah berteriak maki-maki gitu, jadi aku tinggalin aja deh. Iihh nyebelin banget tuh orang”, cerocos Wildan sambil cemberut.
“haha .. ya udah, yg penting dia gak papa kan??”
“hmm gak papa sih, ya udah yukk .. liat kelas kita yg mana, sekelas gak yahhh?? Haha”
Sambil berlari-lari kecil aku mengejar Wildan yg begitu semangat melangkahkan kakinya.
Bruukk ..
“ahhh .. shit man !!”, teriak seseorang yang ditabrak Wildan.
“ouh sorry .. aku gak sengaja.”
“gilaa .. kamu lagi?! Ehh tanggung jawab, gara-gara tadi kamu nyenggol motor aku kamera aku rusak nih!!”
Aku kaget dan terdiam melihat pria ini membentak-bentak Wildan. Wildan yg awalnya masih sabar terlihat mulai emosi. Wajar saja, pria ini membentaknya begitu keras dan kasar sehingga memancing perhatian orang-orang disekitar. Melihat ini aku segera melerai Wildan sebelum terjadi sesuatu yg tidak diinginkan.
Aku mendorong keras kamera milikku ke dada pria kasar ini, “nih .. ambil !! anggap aja nih pengganti kamera kamu yg rusak karena temen ku ini !! kelihatannya kamera itu sangat berharga bagimu sampai-sampai kamu kehilangan akal sehat seperti ini !!”
Dia memegang kameraku sambil memperhatikan sekeliling yg sekarang terlihat ramai menonton adegan ini. Tanpa memperdulikannya lagi, aku menarik Wildan pergi dari kerumunan ini.
Sambil berjalan cepat Wildan memarahiku karena telah memberikan kameraku pada pria itu. Dan seperti masa-masa SMA dulu, hal seperti ini membuat kami berdebat lagi, hingga akhirnya Wildan menyerah pada alasanku.
Ternyata aku dan Wildan sekelas lagi. Dengan bangga kami melangkah masuk menuju kelas, tapi langkah kami terhenti begitu melihat siapa yg duduk di bangku paling depan. Dia .. pria yg ditabrak Wildan tadi, ternyata sekelas dengan kami. Tiba-tiba pria itu berdiri dan mendekati kami.
“gak nyangka kita sekelas, aku Legi!!”, ujarnya ramah sambil mengulurkan tangan, sementara aku dan Wildan hanya melongo.

***
Dari atas bukit ini, semua terasa indah dan nyaman. Cuaca yg cerah, langit biru membentang luas, semilir angin berhembus mempermainkan rambutku yg sengaja ku urai hari ini. Seminggu telah berlalu semenjak kejadian di hutan itu. Banyak hal telah terjadi, namun aku tak ingin memikirkannya dulu. Sekotak cake coklat yg sedari tadi ku pegang, ku taruh di samping dan kemudian aku rebahan di bawah pohon yg rindang ini menggu dia datang. Sambil menyanyi kecil aku memejamkan mataku.
Tiba-tiba aku merasa ada seseorang yg ikut berbaring disampingku. Aku hanya tersenyum, pasti dia yg datang karena tempat ini hanya kami berdua yg tahu. Namun untuk sejenak aku tersentak kaget ketika membuka mata, jarak kami begitu dekat dan dia hanya tersenyum memandangku. Mata kami saling beradu untuk sekian detik, aku tak tahu apa yg telah merasuki kami sehingga bibir-bibir kaku ini saling bertemu. Namun aku tersadar, ini salah, segera aku bangun dan duduk disampingnya.
Dia juga bangun dan mencoba berbicara dengan gerakan tangannya seperti biasa. Aku mengangguk dan tersenyum,
“tak apa Luna, tak perlu minta maaf, aku tahu kita saling menyayangi, kamu adalah sahabat terbaikku, meskipun orang-orang berkata kamu hanyalah seorang gadis bisu tapi bagiku kamu malaikat penyejuk ku, hanya kamu yg bisa mengerti aku sepenuhnya”
Luna tersenyum dan mengangguk pelan.
Hari ini tepat 2 tahun aku mengenal Luna, seorang gadis bisu yg pintar melukis, setiap hasil potretan ku selalu dilukisnya. Dia seumuran denganku, awal aku bertemu dengannya ketika ia mencoba bunuh diri dengan menabrakkan dirinya ke mobil yg ku bawa saat itu. Ternyata 2 bulan sebelumnya ia dan tunangannya mengalami kecelakaan. Tunangan yg begitu tulus mencintai dan menerima ia apa adanya meninggal, tentu saja hal ini membuat Luna frustasi dan nekat mengakhiri hidupnya.
“kenapa melamun??”, Luna menepuk pundakku dan berbicara dgn bahasa isyaratnya.
“ahh tidak .. ehh ini aku bawa cake coklat kesukaan kita, tadhaaa .. hari ini kan tepat 2 tahun persahabatan kita !!”
Mata Luna terlihat berkaca-kaca, ia memang sangat sensitif sekali. Aku tersenyum dan menghapus airmata yg mulai mengalir di pipinya, mengecup lembut keningnya. Kemudian kami menghabiskan cake coklat ini dengan lahapnya. Setelah itu aku mengeluarkan earphone dan memasangkan sebelahnya ke telinga Luna, lalu kami kembali rebahan sambil mendengarkan alunan lagu dari earphone ku. Tak ada cerita yg ingin ku bagi dg Luna hari ini, aku hanya ingin seperti ini dan tetap diam seperti ini, Luna seakan mengerti apa yg ku inginkan, ia memejamkan matanya dan tersenyum, senyum yg begitu manis dan mampu menyejukkan hatiku. Mungkin, bagi sebagian orang ini tidak wajar, tapi kami tak peduli seperti halnya mereka yg hanya sekedar penasaran terhadap apa yg terjadi bukan peduli.
***
     Suasana di taman kampus saat ini terasa dingin bagiku, bukan karena cuacanya tapi karena tatapan Wildan yg sekarang berdiri di depan ku begitu datar. Beberapa menit yg lalu kami bertengkar lagi. Wildan menyadari sikapku berubah semenjak kejadian di hutan beberapa minggu yg lalu. Tapi aku tak ingin berbicara lebih jauh tentang yg sebenarnya ku rasakan saat ini, meskipun Wildan tahu aku sedang patah hati. Tika yang melihat dari jauh segera menghampiri kami. Dengan bahasa yg lebih lembut Tika berbicara padaku, namun intinya tetap saja sama dengan yg aku dan Wildan bicarakan tadi. Mereka berdua seperti menekanku, hanya saja dg cara yg berbeda, aku menghela napas sejenak.
“aku udah nurutin apa yg kamu mau. Tiap Legi tanya, aku selalu jawab kamu baik-baik aja, tapi nyatanya kamu semakin menjauh. Kalau gini terus, aku gak bisa diem aja, Legi juga bakalan nyadar kamu gak baik-baik aja.”
“ok..ok..aku jujur, tak ada yg baik-baik aja sekarang, aku sakit, aku terluka, aku kecewa, tapi ini salahku sendiri, aku yg memposisikan diriku menjadi seperti ini, aku terpaksa harus berpura-pura bahagia saat Legi dan Fesya pacaran karena mereka berdua teman baikku. Beri aku waktu untuk menguasai situasi ini, aku akan kembali bersikap seperti biasa ketika perasaan ini tenang!!”
Kemudian aku berlari meninggalkan Wildan dan Tika karena aku tak ingin mereka melihat aku menangis, meskipun aku yakin mereka tetap tahu aku menangis saat ini.
***
     Berbaring di bahu Luna seperti ini terasa lebih menenangkan. Dengan ditemani angin yg berhembus sepoi-sepoi dan langit yg bertaburan bintang tak terasa 2 jam berlalu tanpa kata. Entah kenapa, malam ini aku bingung harus memulai dari mana. Dan seperti biasa, Luna tetap mengerti apa yg kurasakan hanya dengan menatap dalam mataku.
“ada sesuatu yg udah lama ingin kamu ceritakan?”, tanya Luna.
Aku mengangguk, “iya..sebenarnya, malam ketiga kami tersesat di hutan waktu itu, ada sesuatu yg terjadi”, airmataku mulai mengalir tanpa bisa ku bendung.

#bersambung